SimpulNusantara.com_BULUKUMBA – Dunia internasional mengenal Suku Kajang dengan prinsip hidup Kamase-mase sebagai salah satu penjaga hutan terbaik di muka bumi. Namun, sebuah ironi kini terjadi di tanah kelahirannya sendiri. Ammatoa, pemimpin spiritual dan adat Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang, kini harus duduk di kursi pesakitan sebagai Tergugat dalam perkara perdata Nomor 9/PDT.G/2025/PN.BLK di Pengadilan Negeri Bulukumba.
Gugatan ini dilayangkan oleh pihak-pihak yang keberatan atas sanksi adat yang dijatuhkan Ammatoa. Padahal, sanksi tersebut adalah respons tegas adat terhadap upaya penguasaan dan pengalihfungsian lahan yang secara sah merupakan kawasan Hutan Adat. Mirisnya, para penggugat yang berupaya mengokupasi hutan adat ini justru didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Posisi Ammatoa saat ini dinilai tengah disudutkan. Padahal, tindakan beliau semata-mata menjalankan tugasnya sebagai pemangku adat yang dilindungi negara melalui Perda Kabupaten Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang.
Juhardianti, S.H., Kuasa Hukum yang mendampingi Ammatoa, menyayangkan adanya upaya hukum yang seolah melegitimasi perusakan hutan. Ia menegaskan bahwa objek sengketa yang diklaim penggugat adalah mutlak wilayah Hutan Adat.
“Sangat disayangkan ada pihak yang merasa berhak menguasai dan mengalihfungsikan Hutan Adat. Padahal, legalitasnya jelas berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.6746/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016. SK ini menetapkan hutan seluas 313,99 Hektar di Kecamatan Kajang sebagai Hutan Adat yang tidak boleh diganggu gugat,” tegas Juhardianti.
Lebih lanjut, Juhardianti mengingatkan bahwa perlindungan hutan adalah isu urgen. “Kita melihat bencana alam banjir bandang dan longsor yang baru saja terjadi di Sumatera akibat alih fungsi hutan. Apakah kita ingin bencana serupa menimpa Bulukumba karena kita membiarkan penjaga hutannya digugat?” tambahnya.
Di tengah bergulirnya kasus ini, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bulukumba berupaya hadir memberikan dukungan nyata dengan mengajukan Permohonan Pihak Intervensi untuk berdiri di samping Ammatoa. Namun, upaya ini kandas setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bulukumba menolak permohonan tersebut melalui putusan sela.
Hariyanto, S.H., selaku Kuasa Hukum Pemda Bulukumba, menyatakan kekecewaan mendalam atas putusan sela tersebut. Menurutnya, Pemda memiliki legal standing dan kepentingan langsung terhadap objek sengketa karena menyangkut kewenangan pemerintah daerah dalam penataan wilayah dan perlindungan masyarakat adat.
“Kami sangat menyesalkan putusan sela Majelis Hakim yang menolak Pemda masuk sebagai pihak intervensi. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Pemda dan Perda setempat, kami memiliki kewajiban hukum dan moral untuk memberikan bantuan hukum dan perlindungan kepada Ammatoa dan masyarakat adat Kajang,” ujar Hariyanto.
Penolakan ini dinilai menutup ruang bagi negara untuk hadir melindungi aset budaya dan lingkungan yang kritis. Meski demikian, Tim Hukum Ammatoa dan Pemda Bulukumba menegaskan akan terus berjuang memastikan marwah Ammatoa tetap tegak dan Hutan Adat Kajang tetap lestari dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Publik kini menanti, apakah palu hakim akan berpihak pada pelestarian lingkungan dan kearifan lokal yang telah teruji ratusan tahun, atau justru memberi ruang bagi degradasi hutan atas nama kepentingan segelintir pihak.












